SURABAYA - Direktorat Jenderal Pajak akan mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi perdagangan aset kripto. Menurut Hestu Yoga Saksama, Direktur Peraturan Perpajakan I, aset kripto dikenakan pajak atas dua alasan. Pertama, aset kripto dianggap bukan uang oleh Bank Indonesia (BI) sementara oleh Bappebti (Kementerian Perdagangan), aset kripto dianggap sebagai komoditas. Kedua, aset kripto tidak termasuk dalam negative list daftar barang yang dikecualikan dari pemungutan PPN. “Kita selain mengenai PPh juga PPN tapi nanti kecil banget pajaknya atau yang kita sebut besaran tertentu” ujarnya Dalam konferensi pers “Media Briefing DJP 2022: Tarif PPN” (01/04), beliau menyatakan bahwa Kemenkeu berencana menerbitkan PMK tentang PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto dalam waktu dekat. Aturan ini melengkapi implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.Dalam aturan tersebut, nantinya PPN atas aset kripto akan dikenakan seperti transaksi atas saham di Bursa Efek Indonesia(BEI), yaitu akan ada pemungut dan pemotong namun dengan penyederhanaan. Pemungut atas PPN disebut dengan exchanger. Kebijakan PPN final atas aset kripto rencananya akan di terapkan pada Mei 2022. Tarif PPN final yang bakal dikenakan sebesar 0,1 persen. Dilansir dari ekonomi bisnis adapun, nilai transaksi perdagangan aset kripto dalam negeri tumbuh signifikan selama dua tahun terakhir. Kementerian Perdagangan mencatat nilai transaksi aset kripto mencapai Rp64,9 triliun pada 2020 dan tercatat Rp859,4 triliun pada tahun lalu. Dari data tersebut, transaksi perdagangan aset kripto periode Januari hingga Februari 2022, tercatat sebesar Rp83,3 triliun.
kripto , fasilitas-ppn , objek-ppn , undangundang-hpp , pembebasan-ppn , pph , barang-kena-pajak , jasa-kena-pajak