Artikel / 13 Nov 2025 /Indri Yusti Ningsih

Batas Tipis Antara Tax Planning, Tax Avoidance, dan Tax Evasion di Indonesia

Batas Tipis Antara Tax Planning, Tax Avoidance, dan Tax Evasion di Indonesia
Fungsi dan Tujuan Pajak
Pajak adalah kontribusi wajib yang diatur dalam undang-undang dan dibayarkan oleh warga negara kepada pemerintah tanpa imbalan langsung. Tujuan utamanya adalah meningkatkan penerimaan negara untuk membiayai kebutuhan publik. Selain itu, pajak juga berfungsi sebagai alat pemerataan ekonomi dan instrumen pengendalian kebijakan, misalnya, pajak atas barang mewah untuk mengurangi kesenjangan sosial atau cukai rokok untuk mengendalikan konsumsi produk berisiko.

Pajak memiliki peran vital bagi perekonomian negara. Melalui pajak, pemerintah dapat membiayai pembangunan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menjaga kestabilan ekonomi. Namun dalam praktiknya, tidak sedikit wajib pajak yang berusaha menekan jumlah pajak terutang dengan berbagai cara. Dari sinilah muncul tiga istilah penting dalam dunia perpajakan: perencanaan pajak (tax planning), penghindaran pajak (tax avoidance), dan penggelapan pajak (tax evasion).

Ketiganya memiliki tujuan sama yaitu untuk mengurangi beban pajak, tetapi berbeda dalam cara dan legalitasnya. Untuk memahami batas di antara ketiganya, kita perlu melihat kerangka hukum perpajakan Indonesia dan prinsip keadilan yang mendasarinya.


Perencanaan Pajak (Tax Planning): Upaya Sah Mengatur Kewajiban Perpajakan
Perencanaan pajak (tax planning) adalah langkah legal untuk mengatur aktivitas bisnis agar kewajiban pajak menjadi efisien, bukan dihindari.

Misalnya, perusahaan memanfaatkan insentif pajak yang sah seperti fasilitas super deduction, tax holiday, atau pengurangan penghasilan bruto untuk kegiatan vokasi dan R&D sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK.010/2019.

Langkah ini diperbolehkan sepanjang sesuai dengan peraturan dan memiliki substansi ekonomi yang nyata. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bahkan mendorong perencanaan pajak yang sehat sebagai bagian dari governance dan efisiensi usaha.


Salah satu contoh penerapan tax planning yang legal dan efisien dapat ditemukan pada praktik yang dilakukan oleh salah satu perusahaan terbuka di bidang telekomunikasi dan infrastruktur digital. Dalam menghadapi persaingan industri serta beban investasi besar, perusahaan tersebut berupaya mengoptimalkan struktur usaha dan kewajiban pajaknya secara strategis namun tetap patuh hukum.

Pada tahun 2022, manajemen perusahaan tersebut melakukan restrukturisasi korporasi dengan memisahkan unit bisnis penyedia menara dan pusat data (data center) menjadi anak perusahaan tersendiri. Tujuan utamanya adalah menciptakan efisiensi operasional sekaligus memanfaatkan fasilitas perpajakan yang diberikan oleh pemerintah. Langkah ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2022 tentang penyesuaian pengaturan Pajak Penghasilan dan PMK No. 130/PMK.010/2020 yang mengatur fasilitas tax holiday bagi industri pionir seperti telekomunikasi dan teknologi informasi.

Dalam implementasinya, perusahaan tersebut tetap menjadi pemegang saham mayoritas di anak perusahaannya. Namun, setiap entitas kini memiliki pembukuan dan perhitungan pajak tersendiri, sehingga biaya penyusutan, beban operasional, dan pendapatan dapat diakui secara proporsional sesuai aktivitas bisnis masing-masing. Dengan pengaturan ini, perusahaan tersebut mampu mengoptimalkan biaya yang dapat dikurangkan secara fiskal (deductible expenses) sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), tanpa mengurangi pendapatan kena pajak secara tidak sah.

Dengan demikian, strategi ini bukan hanya menurunkan beban pajak secara legal, tetapi juga mendukung arah kebijakan ekonomi digital pemerintah.


Penghindaran Pajak (Tax Avoidance): Celah yang Sering Disalahgunakan
Berbeda dengan perencanaan pajak, penghindaran pajak (tax avoidance) menggunakan celah hukum untuk menekan pajak, tanpa secara eksplisit melanggar undang-undang.

Contohnya, perusahaan memanfaatkan perbedaan perlakuan pajak antar negara (treaty shopping) atau membuat struktur transaksi antar-entitas yang secara formal sah, tetapi tanpa substansi bisnis yang nyata.

Dalam konteks Indonesia, penghindaran pajak diatur secara tersirat dalam PP Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Ketentuan di Bidang Pajak Penghasilan. Pasal 32 ayat (4) PP tersebut menegaskan bahwa DJP berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan kena pajak berdasarkan substansi ekonomi, jika suatu transaksi dinilai tidak mencerminkan keadaan sebenarnya atau dilakukan semata-mata untuk menghindari pajak. Ketentuan ini dikenal sebagai penerapan prinsip substance over form, di mana otoritas pajak berhak menilai maksud sesungguhnya dari transaksi, bukan hanya bentuk hukumnya.

Selain itu, terdapat PMK Nomor 169/PMK.010/2015 yang mengatur batas perbandingan utang dan modal (thin capitalization) untuk mencegah manipulasi beban bunga oleh perusahaan afiliasi. Aturan ini merupakan bagian dari Specific Anti-Avoidance Rule (SAAR) yang berfungsi membatasi praktik penghindaran pajak melalui mekanisme pembiayaan buatan. Untuk skala internasional, penghindaran pajak lintas yurisdiksi kini diantisipasi lewat PMK Nomor 136 Tahun 2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global, yang menjadi implementasi dari agenda OECD Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).


Contoh penerapan tax avoidance dapat ditemukan pada praktik yang dilakukan oleh salah satu perusahaan multinasional di sektor otomotif yang memiliki jaringan anak usaha di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Singapura.

Perusahaan tersebut melakukan pengaturan harga transfer (transfer pricing) antar entitas dalam grup. Misalnya, anak usaha di Indonesia menjual komponen kendaraan ke perusahaan afiliasi di Singapura dengan harga yang sedikit lebih rendah dari harga pasar. Sebaliknya, perusahaan di luar negeri menjual kembali produk jadi dengan margin lebih tinggi. Dengan cara ini, sebagian besar laba berpindah ke negara dengan tarif pajak lebih rendah, sehingga beban pajak di Indonesia menjadi lebih kecil.

Secara teknis, praktik ini masih bisa dianggap sah apabila transaksi tersebut didukung oleh dokumen Transfer Pricing Documentation (TP Doc) dan memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm’s Length Principle) sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 172/PMK.03/2023 dan Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Namun, dalam praktiknya, otoritas pajak sering kali melakukan koreksi transfer pricing apabila menilai bahwa harga antar entitas tidak mencerminkan nilai pasar yang wajar (non-arm’s length).

Selain itu, perusahaan tersebut juga mengoptimalkan struktur pembiayaan melalui pinjaman antar perusahaan afiliasi. Dengan menempatkan pinjaman di negara yang memiliki tarif pajak rendah, perusahaan dapat menekan beban pajak dengan membebankan bunga yang tinggi pada entitas di Indonesia. Meski tampak efisien, praktik ini dapat berisiko apabila tidak disertai perjanjian pinjaman yang sah atau perhitungan wajar atas tingkat bunga, karena dapat melanggar ketentuan dalam PMK Nomor 172/PMK.03/2023 dan prinsip thin capitalization.

Dari sisi hukum, tax avoidance masih berada dalam wilayah abu-abu: tidak dapat langsung dikategorikan sebagai pelanggaran, namun sangat bergantung pada pembuktian dan penilaian fiskus. Jika dilakukan secara hati-hati dan disertai dokumentasi lengkap, strategi ini masih dapat diterima. Namun, jika melanggar prinsip kewajaran, maka akan dikoreksi sebagai bentuk penghindaran pajak yang agresif.


Penggelapan Pajak (Tax Evasion): Pelanggaran yang Bersifat Pidana
Berbeda dengan penghindaran pajak yang masih berada di area abu-abu, penggelapan pajak (tax evasion) adalah pelanggaran hukum secara terang-terangan.

Tindakan ini meliputi penyembunyian penghasilan, pemalsuan faktur, tidak melaporkan transaksi, atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut.

Perbuatan tersebut dapat dijerat sanksi berdasarkan Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), dengan ancaman pidana penjara dan denda dua hingga empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.


Contoh praktik tax evasion dapat dilihat salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan ekspor komoditas di Indonesia. Dalam rangka menekan beban pajak, perusahaan ini melakukan tindakan yang secara jelas melanggar ketentuan perpajakan.

Salah satu modus yang dilakukan perusahaan tersebut adalah tidak melaporkan sebagian pendapatan ekspor dengan cara menurunkan nilai transaksi pada faktur penjualan (under-invoicing). Selisih pendapatan dari transaksi tersebut disimpan melalui perusahaan terafiliasi di luar negeri, sehingga laba yang dilaporkan di Indonesia menjadi lebih kecil dari sebenarnya.

Selain itu, perusahaan tersebut juga menggunakan faktur pajak fiktif untuk mengurangi PPN terutang. Faktur tersebut diterbitkan oleh pihak yang tidak benar-benar melakukan transaksi, namun tetap dikreditkan dalam SPT Masa PPN untuk menurunkan beban pajak.

Setelah dilakukan pemeriksaan DJP, ditemukan bukti kuat adanya penyampaian SPT yang tidak benar dan penggelapan pendapatan. Tindakan ini termasuk pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UU KUP, yang dapat dikenai sanksi pidana penjara enam bulan hingga enam tahun, serta denda dua sampai empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.


Penutup: Membangun Budaya Pajak yang Sehat
Meskipun hukum memungkinkan wajib pajak untuk mengoptimalkan kewajiban pajaknya, etika bisnis menuntut agar setiap strategi pajak dilakukan secara wajar dan transparan. Ketika penghindaran dilakukan secara agresif tanpa niat ekonomi yang nyata, maka tindakan tersebut melanggar semangat keadilan fiskal dan dapat merusak reputasi perusahaan. Sistem perpajakan yang kuat dibangun bukan hanya dari sanksi dan aturan, tetapi juga dari kepercayaan dan integritas wajib pajak.

Dengan demikian, langkah terbaik bagi pelaku usaha bukanlah “menghindari” pajak, melainkan merencanakannya secara benar dan bertanggung jawab.

Pada akhirnya, pajak tidak hanya sebatas kewajiban formal, melainkan bagian dari kontribusi nyata masyarakat terhadap keberlanjutan bangsa. Sebagai pelaku usaha maupun individu, kita turut memiliki peran penting dalam menciptakan sistem pajak yang adil dan transparan.

Mulailah dari hal sederhana seperti memahami hak dan kewajiban perpajakan, menyusun laporan dengan benar, serta memanfaatkan insentif pajak yang sah tanpa menyalahgunakannya. Dengan mempraktikkan perpajakan yang sehat, kita tidak hanya menghindari risiko hukum, tetapi juga ikut memperkuat fondasi ekonomi nasional.

Karena pada akhirnya, pajak yang dikelola dengan jujur dan bijak adalah bentuk nyata tanggung jawab kita terhadap kemajuan Indonesia.



alp , pajak , pajak-penghasilan , pajak-pertambangan , pkku , tax-avoidance , tax-avoidance , tax-evasion

Tulis Komentar



Whatsapp