Artikel / 20 May 2021 /Risandy Meda

Dua Perusahaan Unicorn Indonesia Melakukan Merger, Apa Konsekuensi Pajak yang Dapat Timbul?

Dua Perusahaan Unicorn Indonesia Melakukan Merger, Apa Konsekuensi Pajak yang Dapat Timbul?
Senin, 17 April 2021 media nasional Indonesia diramaikan dengan berita resmi mergernya dua perusahaan teknologi besar di Indonesia yakni GoJek dan Tokopedia. Kabar gembira ini disambut semarak oleh berbagai pihak dan menjadi topik perbincangan hangat hingga hari ini. Tak heran, antusiasme besar ini timbul akibat dampak merger yang digadang-gadang berpotensi menguasai pasar ekonomi digital di ASEAN serta besarnya nilai valuasi penggabungan kedua usaha diperkirakan dapat mencapai US$20 Miliar sampai US$25 Miliar atau setara 284 Triliun Rupiah hingga 355 Triliun Rupiah (kurs Rp14.200 per dolar AS) (Nailul Huda, Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef, dalam artikel cnnindonesia.com).

Terdapat beberapa alasan yang mendasari suatu usaha melakukan penggabungan. Beams dan Yusuf (1998:2-3) merinci alasan tersebut menjadi 6, yaitu

  1. Manfaat Biaya (Cost Advantage)
    Perusahaan yang melakukan penggabungan seringkali memperoleh fasilitas yang dibutuhkan dengan lebih murah dibandingkan dengan melalui pengembangan.
  2. Risiko Lebih Rendah (Lower Risk)
    Penggabungan usaha memiliki risiko yang lebih rendah terutama ketika tujuannya adalah diversifikasi.
  3. Penundaan Operasi Lebih Sedikit (Fewer Operating Delays)
    Fasilitas - fasilitas yang diperoleh melalui penggabungan usaha dapat diharapkan untuk segera beroperasi.
  4. Mencegah Pengambilalihan (Avoidance Of Takeovers)
    Beberapa perusahaan bergabung untuk mencegah pengambilalihan diantara mereka.
  5. Akuisisi Harta Tidak Berwujud (Acquisition of Intangible Assets)
    Penggabungan usaha melibatkan penggabungan sumber daya tidak berwujud maupun berwujud. Akusisi atas hak paten, hak atas mineral, database pelanggan, atau keahlian manajemen mungkin menjadi faktor utama yang memotivasi suatu penggabungan usaha.
  6. Alasan-alasan lain.
    Selain untuk perluasan, perusahaan-perusahaan mungkin memilih penggabungan usaha untuk memperoleh manfaat dari segi pajak. Meskipun pada dasarnya strategi penggabungan usaha yang dilakukan oleh beberapa perusahaan memberikan banyak manfaat, tetapi ada juga risiko yang harus ditanggung oleh perusahaan yang melakukan penggabungan tersebut yaitu risiko sumber daya manusia, dalam hal ini dampak dari penggabungan usaha tersebut, biasanya menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan.

Pasal 1 Nomor 9 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mendefinisikan penggabungan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. Disisi lain, PSAK Nomor 22 menyatakan kombinasi bisnis adalah suatu transaksi atau peristiwa lain di mana pihak pengakuisisi memperoleh pengendalian atas satu atau lebih bisnis (termasuk didalamnya “penggabungan sesungguhnya (true merger)” atau “penggabungan setara (merger of equals)”. Bagaimana dengan perpajakan?

Undang-Undang Perpajakan tidak secara tertulis mengatur definisi penggabungan usaha. Namun, konsekuensi pajak atas kegiatan penggabungan usaha diatur dalam beberapa pasal Undang-Undang Perpajakan.


Undang-Undang PPh mengatur bahwa keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun adalah objek pajak penghasilan (Pasal 4 ayat (1) huruf d nomor 3). Selanjutnya, Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang PPh mengatur bahwa nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditentukan lain oleh Menteri Keuangan. Lebih lanjut, Pasal 85 ayat (2) huruf a Nomor 10 Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juga mengatur bahwa peroleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan meliputi pemindahan hak karena penggabungan usaha merupakan Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Dalam kaitannya dengan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pasal 1A ayat (2) huruf d Undang-Undang PPN mengatur bahwa pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga tidak terutang PPN.

Hubungan menarik antara merger dan perpajakan telah lama menjadi perhatian banyak kalangan. Sebagai hasilnya, beberapa peneliti berupaya untuk mengetahui sejauh mana interaksi antara penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan dan keputusan untuk melakukan merger. Beberapa penelitian menemukan bahwa merger merupakan salah satu alat yang digunakan oleh perusahaan untuk menghindari pajak (Chow dkk.,2015; Belz, dkk., 2013). Namun disisi lain, Duarte dan Barros (2018) menemukan bahwa pajak mungkin tidak memicu adanya proses merger dan akuisisi, meskipun penghematan pajak yang signifikan tampaknya terjadi karena karakteristik merger dan akuisisi tertentu.

Lalu, apa saja konsekuensi perpajakan yang timbul dari proses merger?

Konsekuensi dari proses merger, apapun jenis dan metode pencatatannya, adalah adanya perpindahan harta yang tentunya terkait dengan perpajakan. Setidaknya ada transfer tax (PPN, PPh Final 4 ayat 2 dan BPHTB) dan keuntungan atas selisih aktiva yang merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh).


1. Pajak Penghasilan Final atas Pengalihan Harta berupa Tanah dan Bangunan

Pengalihan aktiva berupa tanah dan bangunan yang terjadi pada saat proses merger merupakan objek PPh final sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang PPh Pasal 4 ayat (2) huruf d. Besarnya tarif Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a PP Nomor 34 Tahun 2016 sebagai berikut

  • 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
  • 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;atau
  • 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Selain itu, atas transaksi pengalihan harta berupa tanah dan bangunan juga terutang BPHTB dengan tarif paling tinggi 5% dari nilai jual kena pajak, yaitu selisih antara nilai pasar dengan nilai jual objek pajak tidak kena pajak. (Pasal 87 ayat (2) huruf k dan Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Saat terutangnya pajak BPHTB adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk penggabungan usaha.

2. Pajak Penghasilan atas Keuntungan Modal (Capital Gain)

Atas keuntungan modal yang diterima perusahaan dalam rangka merger merupakan tambahan kemampuan perusahaan yang akan dikenakan tarif pasal 17 UU PPh sebesar 22% (Pasal 2 huruf a PP Nomor 30 Tahun 2020). Persoalan muncul ketika perusahaan menggunakan opsi nilai buku dalam merger karena tidak terdapat biaya goodwill dan kenaikan nilai aktiva yang terjadi pada metode pencatatan ini.

Pasal 1 ayat (2) PMK Nomor 205 Tahun 2018 mengatur bahwa Untuk kepentingan perpajakan, Wajib Pajak dapat menggunakan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha, setelah mendapatkan persetujuan DJP. Penggabungan usaha yang dapat menggunakan nilai buku salah satunya yaitu penggabungan dari 2 (dua) atau lebih WP badan dalam negeri yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mengalihkan seluruh harta dan kewajiban kepada salah satu WP badan yang tidak mempunyai sisa kerugian fiskal atau mempunyai sisa kerugian fiskal yang lebih kecil dan membubarkan WP badan yang mengalihkan harta dan kewajiban tersebut.

Pasal 2 PMK Nomor 52 Tahun 2017 mengatur mengenai syarat WP yang dapat menggunakan nilai buku atas pengalihan atau penerimaan pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha, yaitu

  1. Mengajukan permohonan kepada DJP maks 6 bulan setelah tanggal efektif penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha dilakukan, dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha;
  2. Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test), yaitu
    a. tujuan utama dari penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha yaitu untuk menciptakan
        sinergi usaha yang kuat dan memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk penghindaran pajak;
    b. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta masih berlangsung sampai dengan tanggal efektif dari
        penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha;
    c. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta sebelum penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan
        usaha terjadi, wajib dilanjutkan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta paling singkat 5 (lima) tahun
        setelah tanggal efektif penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha;
    d. kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau
        pengambilalihan usaha tetap berlangsung paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif penggabungan,
        peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha; dan
    e. harta berupa aktiva tetap yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta yang berasal dari penggabungan,
        peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha tidak dipindahtangankan oleh Wajib Pajak yang menerima
        harta paling singkat 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif penggabungan, peleburan, pemekaran, atau
        pengambilalihan kecuali pemindahtanganan tersebut dilakukan untuk tujuan peningkatan efisiensi perusahaan.

3.Harta telah dialihkan pada tanggal efektif penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.

Selanjutnya, Pasal 16 PMK Nomor 52 Tahun 2017 mengatur terhadap hak dan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak yang mengalihkan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha untuk masa pajak, bagian tahun pajak, dan/atau tahun pajak sebelum dilakukannya:

  • Penggabungan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3);
  • Peleburan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4); atau
  • Pembubaran Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) atau (2),
beralih kepada Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan usaha.


3. Pajak Pertambahan Nilai atas Pengalihan Barang Kena Pajak

Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah PKP tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga tidak terutang PPN. Namun, apabila penggabungan dilakukan oleh bukan PKP maka atas pengalihan Barang Kena Pajak tersebut terutang PPN dengan tarif 10%. Apabila terdapat Pajak Masukan atas pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha yang belum dikreditkan oleh PKP yang mengalihkan, PM tersebut tetap dapat dikreditkan oleh PKP yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan PM tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi (Pasal 9 ayat (14) Undang-Undang PPN).




Referensi:
[1] Beams, Floyd, dan Amir Abadi Yusuf. 1999. "Akuntansi Keuangan Lanjutan. Di Indonesia". Buku I. Salemba Empat: Jakarta.
[2] Belz, et.al. 2013. Tax Avoidance as a driver or mergers and acquisitions. SSRN Electronic Journal.
[3] Budi, Chandra. Memahami Pajak atas Merger. https://www.kemenkeu.go.id/media/4485/memahami-pajak-atas-merger.pdf
[4] Chow, et.al. 2015. Anticipated Tax Planning as a source of merger gains. Research Collection School Of Accountancy
[5] Duarte dan Barros. 2018. Corporate Tax Avoidance and Profitability Followed by Mergers and Acquisitions. Corporate Ownership & Control.
[6] Fauzie, Yuli Yanna. 2021. Membaca Tujuan dan Dampak Merger Gojek-Tokopedia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210518065203-92-643595/membaca-tujuan-dan-dampak-merger-gojek-tokopedia/1
[7] PMK Nomor 52 Tahun 2017
[8] PMK Nomor 205 Tahun 2018
[9] PP Nomor 34 Tahun 2016
[10] PP Nomor 30 Tahun 2020
[11] PSAK Nomor 22
[12] Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
[13] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020


bphtb , merger , pajak-merger

Tulis Komentar



Whatsapp