Artikel / 23 Sep 2024 /Hilmi Khuluqy

Imbalan Bunga: Apakah Wajib Pajak Mendapat Keadilan yang Layak?

Imbalan Bunga: Apakah Wajib Pajak Mendapat Keadilan yang Layak?
Dalam sistem perpajakan Indonesia, konsep imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak menjadi salah satu isu signifikan. Perubahan regulasi yang mengatur imbalan bunga, khususnya terkait penggantian Pasal 27A dengan Pasal 27B dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), memunculkan perdebatan mengenai pengelolaan hak Wajib Pajak. Meskipun perubahan ini mencerminkan upaya pemerintah untuk mengatur lebih rinci tentang hak-hak Wajib Pajak, di sisi lain, perubahan tersebut juga memicu kritik terkait pembatasan yang diberlakukan.

Perubahan dari Pasal 27A ke Pasal 27B

Sebelumnya, Pasal 27A menjadi dasar pengaturan pemberian imbalan bunga bagi Wajib Pajak yang mengalami kelebihan pembayaran setelah melalui proses keberatan, banding, atau peninjauan kembali. Namun, dengan berlakunya Pasal 27B, terdapat beberapa perubahan signifikan yang patut dicermati. Walaupun esensi dasar aturan tetap sama—yaitu Wajib Pajak berhak atas imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak—Pasal 27B menambahkan syarat-syarat yang lebih membatasi hak tersebut.

Salah satu perubahan penting adalah pengaturan mengenai kondisi di mana imbalan bunga dapat diberikan. Dalam beberapa kasus, meskipun Wajib Pajak telah membayar lebih akibat ketidaksesuaian hasil pemeriksaan pajak, mereka tidak selalu berhak atas imbalan bunga, tergantung pada kondisi pembayaran pajak tersebut.

Perspektif Corrective Justice

Pembatasan dalam Pasal 27B memunculkan kritik, terutama dari perspektif hak Wajib Pajak. Dalam sistem self-assessment, Wajib Pajak memiliki tanggung jawab besar untuk menghitung, melaporkan, dan membayar pajak terutang. Jika kemudian ditemukan ketidaksesuaian yang dikoreksi melalui keberatan atau banding, seharusnya Wajib Pajak berhak mendapatkan imbalan bunga atas kelebihan pembayaran, terlepas dari kapan pembayaran tersebut dilakukan.

Pasal 27B ayat (2) menyatakan:
“(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan, yaitu: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau d. Surat Ketetapan Pajak Nihil.”
Pasal 27B ayat (2) tersebut memberikan batasan pada penafsiran "lebih bayar" yang hanya berlaku untuk kelebihan pembayaran yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan (PAHP). Jika lebih bayar terjadi sebagai hasil pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Wajib Pajak tidak berhak atas imbalan bunga. Selain itu,  jika Wajib Pajak menyetujui jumlah lebih bayar yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), klaim atas lebih bayar akan dibatasi pada jumlah yang telah disetujui tersebut, terlepas dari apakah hasil keberatan atau banding menunjukkan jumlah lebih bayar yang lebih besar. Artinya, meskipun proses selanjutnya menunjukkan lebih bayar yang lebih tinggi, Wajib Pajak hanya berhak atas jumlah yang lebih rendah yang telah disepakati dalam pembahasan hasil pemeriksaan.

Pembatasan ini dianggap tidak adil bagi Wajib Pajak yang seharusnya berhak atas imbalan bunga, terutama ketika keberatan atau banding membuktikan bahwa mereka telah membayar lebih. Hal ini bertentangan dengan konsep corrective justice dari Aristoteles, di mana kompensasi harus diberikan kepada pihak yang dirugikan, dalam hal ini Wajib Pajak yang membayar lebih akibat SKPKB atau SKPKBT. Pada saat yang sama, hukuman juga harus diberikan kepada pihak yang salah, dalam hal ini pemeriksa pajak yang melakukan kesalahan dalam pemeriksaan.

Hukuman bagi Pemeriksa Pajak Meningkatkan Kualitas Pemeriksaan

Kompensasi kepada Wajib Pajak yang dirugikan tidak hanya penting untuk menegakkan prinsip keadilan, tetapi juga memiliki peran strategis dalam meningkatkan kualitas pemeriksaan pajak ke depannya. Ketika kesalahan pemeriksaan yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak dikenai sanksi atau hukuman bagi pemeriksa yang bersangkutan, hal ini dapat menjadi mekanisme pembelajaran untuk meningkatkan profesionalisme dan akurasi pemeriksa di masa depan.

Jika pemeriksa pajak mengetahui bahwa kesalahan dalam melakukan pemeriksaan dapat berujung pada penalti atau konsekuensi lain yang merugikan karier mereka, mereka akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya. Ini juga akan mendorong pemeriksa pajak untuk mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai peraturan perpajakan, serta melakukan analisis yang lebih teliti dan objektif. Dengan demikian, kualitas pemeriksaan akan meningkat secara keseluruhan, mengurangi potensi terjadinya sengketa pajak yang memakan waktu dan biaya, baik bagi Wajib Pajak maupun pemerintah.

Hukuman bagi pemeriksa pajak yang salah juga akan memperkuat integritas sistem perpajakan, karena menunjukkan bahwa kesalahan tidak hanya berdampak pada Wajib Pajak tetapi juga kepada pemeriksa yang melakukannya. Pada akhirnya, hal ini akan berkontribusi pada peningkatan kualitas administrasi perpajakan dan kepercayaan masyarakat terhadap otoritas pajak.

Imbalan Bunga Bukan Opsi Investasi bagi Wajib Pajak

Keberadaan imbalan bunga memang memberikan kompensasi, namun dalam konteks suku bunga yang lebih rendah, kompensasi tersebut tidak sebanding dengan kerugian finansial yang dialami Wajib Pajak. Hal ini menegaskan bahwa imbalan bunga bukanlah bentuk insentif atau keuntungan, melainkan sekadar kompensasi minimal yang diberikan pemerintah sebagai wujud tanggung jawab atas kelebihan pembayaran pajak yang terjadi karena ketidakakuratan pemeriksaan atau kesalahan administrasi.

Kesimpulan: Perlu Peninjauan Kembali

Perubahan yang diatur dalam Pasal 27B tampaknya mengarah pada pembatasan hak Wajib Pajak dalam mendapatkan imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak. Ini memunculkan ketidakseimbangan antara kewajiban Wajib Pajak untuk mematuhi aturan perpajakan dan hak mereka untuk mendapatkan kompensasi ketika terjadi kesalahan dalam perhitungan pajak yang akhirnya dikoreksi oleh otoritas pajak.

Pemerintah seharusnya mempertimbangkan untuk meninjau kembali ketentuan ini guna memberikan perlakuan yang lebih adil bagi Wajib Pajak yang telah menunjukkan itikad baik dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka. Dengan memberikan imbalan bunga yang lebih merata kepada semua Wajib Pajak yang mengalami kelebihan pembayaran, akan tercipta iklim perpajakan yang lebih transparan dan adil, serta dapat meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak terhadap sistem perpajakan di Indonesia.


imbalan-bunga , kup

Tulis Komentar



Whatsapp