Artikel / 10 May 2024 /Risandy Meda Nurjanah

Rekonsiliasi Fiskal: Menentukan Penghasilan Fiskal Sesuai Aturan Perpajakan

Rekonsiliasi Fiskal: Menentukan Penghasilan Fiskal Sesuai Aturan Perpajakan
Dalam penyusunan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh), rekonsiliasi fiskal menjadi tahapan yang tidak bisa dilewatkan. Rekonsiliasi fiskal dilakukan setelah Wajib Pajak menyiapkan pembukuan dan laporan keuangan. Tahapan ini berisi mekanisme penyesuaian penghasilan/laba komersial yang tercatat di laporan keuangan. 

Secara harfiah, rekonsiliasi dapat diartikan sebagai ikhtisar yang memuat perincian perbedaan antara dua akun atau lebih. Rekonsiliasi fiskal dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. Tujuannya untuk menentukan besarnya laba/rugi fiskal yang menjadi dasar penghitungan pajak terutang.

Rekonsiliasi fiskal terjadi karena adanya perbedaan perlakuan antara akuntansi dan perpajakan. Laporan keuangan sesuai ketentuan akuntansi disusun berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), yang sejalan dengan konvergensi IFRS menganut principle based. Berbeda dengan hal tersebut, ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan memiliki pengaturan tersendiri terkait penggolongan komponen dalam laporan keuangan.

Sebagai contoh, ketentuan perpajakan telah mengatur biaya-biaya yang dapat menjadi pengurang (deductible expenses) dan biaya-biaya yang tidak dapat menjadi pengurang (non-deductible expenses) dalam menentukan penghasilan kena pajak. Dengan demikian, perpajakan menganut rule based.


Beda Temporer dan Beda Permanen

Akibat perbedaan tersebutlah Wajib Pajak perlu melakukan rekonsiliasi fiskal. Perbedaan yang muncul dalam proses rekonsiliasi terbagi menjadi dua, yaitu:

  1. Beda temporer atau beda waktu, dan
  2. Beda permanen atau beda tetap.
Beda temporer terjadi ketika terdapat perbedaan metode yang digunakan. Contoh beda temporer yaitu perbedaan penilaian persediaan dan perbedaan umur manfaat aset. Sama seperti namanya, perbedaan ini bersifat sementara sehingga akan terselesaikan di masa depan. Beda temporer disebut juga dengan beda waktu, untuk itu perbedaan yang terjadi hanya memperhitungkan waktu pengakuan saja. Beda temporer akan mengakibatkan adanya aset pajak tangguhan atau kewajiban pajak tangguhan.

Adapun beda permanen terjadi karena ada perbedaan perlakuan kedua aturan, yaitu antara akuntansi dan perpajakan. Misalnya, sesuai ketentuan akuntansi penghasilan sewa bangunan termasuk dalam komponen penghasilan, namun berdasarkan ketentuan perpajakan jenis penghasilan ini dikenai tarif final, yang berarti bahwa penghasilan sewa tidak dimasukkan ke dalam penghitungan penghasilan kena pajak. 

Untuk itu, beberapa hal yang harus diperhatikan pada rekonsiliasi fiskal diantaranya:

  1. Penghasilan yang merupakan objek PPh final (PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15 final, PPh Pasal 22 final, PPh Pasal 26);
  2. Penghasilan yang merupakan bukan objek PPh (PPh Pasal 4 ayat (3)); dan
  3. Biaya yang merupakan Non-Deductible Expense sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang PPh stdd Undang-Undang HPP.

Koreksi Fiskal dalam Proses Rekonsiliasi 

Perbedaan yang terjadi dalam rekonsiliasi fiskal membutuhkan penyesuaian. Penyesuaian tersebut disebut juga dengan koreksi fiskal. Koreksi ini dapat menambah jumlah penghasilan kena pajak, atau bahkan dapat menurunkan jumlah penghasilan kena pajak. Ada 2 (dua) jenis koreksi fiskal, yaitu:

  1. Koreksi Negatif, dan
  2. Koreksi Positif.
Koreksi negatif terjadi ketika penyesuaian atau koreksi yang dilakukan mengakibatkan:

  • Penghasilan neto fiskal berkurang;
  • Penghasilan fiskal < penghasilan komersial; atau 
  • Beban fiskal > beban komersial.
Contoh koreksi negatif yaitu seperti koreksi atas penghasilan yang bersifat final dan koreksi atas penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh.

Adapun koreksi positif terjadi ketika penyesuaian atau koreksi yang dilakukan mengakibatkan:

  • Penghasilan neto fiskal bertambah;
  • Penghasilan fiskal > penghasilan komersial; atau
  • Beban fiskal < beban komersial.
Contoh koreksi positif seperti koreksi atas biaya yang tidak boleh menjadi pengurang.


Menentukan Penghasilan Fiskal

Penghasilan fiskal adalah besarnya penghasilan Wajib Pajak setelah disesuaikan dengan aturan perpajakan. Untuk menghitung penghasilan fiskal, Wajib Pajak perlu melakukan proses rekonsiliasi fiskal. 

Namun demikian, besarnya PPh terutang tidak dihitung dari penghasilan fiskal. Wajib Pajak menghitung PPh dengan mengalikan penghasilan kena pajak dengan tarif PPh yang berlaku. Adapun penghasilan kena pajak dalam hal ini diperoleh dari pengurangan penghasilan neto fiskal dengan kompensasi kerugian (apabila ada). 

Penghasilan neto fiskal dihitung dengan mengurangkan penghasilan fiskal dengan beban fiskal. Secara garis besar, penghasilan neto fiskal diperoleh dengan rumus sebagai berikut:

Penghasilan neto fiskal = penghasilan komersial – beban komersial + koreksi positif – koreksi negatif 

Nominal penghasilan neto fiskal inilah yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung besarnya PPh terutang Wajib Pajak. Lebih lanjut, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang PPh, Wajib Pajak berhak untuk melakukan kompensasi atas kerugian dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.


pajak-penghasilan , pajak-penghasilan-badan , pelaporan-spt , spt-tahunan

Tulis Komentar



Ada 1 Komentar untuk Berita Ini


Wulan Wulan
07 Apr 2025 11:25:49
Selamat siang, izin bertanya, apakah pph 22 akan dikoreksi (dikeluarkan dari biaya) ?
terima kasih.

----------
Terima kasih atas pertanyaannya saudara Wulan,
Sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh, Pajak Penghasilan tidak dapat menjadi pengurang dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (non deductible expense). Untuk itu, PPh 22 juga akan dikoreksi fiskal ya.

Terima kasih,
Salam
Whatsapp