Artikel / 10 Jan 2022 /Otto Budihardjo, Risandy Meda Nurjanah

Kewenangan Baru DJP dalam Kerja Sama Pelaksanaan Bantuan Penagihan Pajak

Kewenangan Baru DJP dalam Kerja Sama Pelaksanaan Bantuan Penagihan Pajak

Perkembangan pesat teknologi informasi dalam era globalisasi membuka seluas-luasnya akses informasi bagi siapapun. Dalam kaitannya dengan perpajakan, kemudahan perolehan informasi Wajib Pajak membuka peluang peningkatan penerimaan perpajakan bagi suatu negara jika pada kenyataannya terdapat Wajib Pajak yang tidak melaporkan penghasilan atau hartanya dalam negara dimana kewajiban perpajakannya berlaku. Namun disisi lain, kemudahan perolehan informasi yang tidak dilaksanakan secara bijak dapat disalahgunakan.

Pertukaran informasi yang berlangsung secara otomatis karena adanya bantuan teknologi dikenal luas sebagai Automatic Exchange of Information (AEoI). Bahasan mengenai pertukaran informasi sendiri telah dilakukan sejak tahun 1997 oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Melihat pentingnya hal tersebut, negara-negara G20 telah melakukan permintaan resmi kepada OECD untuk mengembangkan sebuah Standar Pelaporan Umum (Common Reporting Standard atau CRS) pada September 2013. Pada tahun 2015, OECD mengeluarkan edisi pertama handbook pelaksanaan CRS yang menyediakan panduan praktis CRS untuk pemerintah maupun institusi keuangan.


Peraturan mengenai pertukaran informasi untuk kepentingan pajak di Indonesia ditetapkan pertama kali dalam PMK Nomor 60/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi (Exchange of Information) pada tanggal 27 Maret 2014. Peraturan tersebut disusun dengan mengacu pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement/TIEA), dan Perjanjian Multilateral tentang Bantuan Administratif Bersama di Bidang Perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters) yang mengharuskan Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara atau yurisdiksi mitranya melakukan pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan. Seiring dengan perkembangannya, ketentuan tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan yang dilakukan dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes.



Kewenangan DJP dalam Kerja sama Pelaksanaan Penagihan dan Prosedur Persetujuan Bersama dalam Penerapan P3B

1. Pelaksanaan Bantuan Penagihan

Pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tak luput menambah dan mengubah ketentuan mengenai pertukaran informasi. Penambahan Pasal 20A Undang-Undang KUP mengatur bahwa per 29 Oktober 2021, Kementerian Keuangan melalui DJP diberikan kewenangan untuk melakukan kerja sama pelaksanaan bantuan penagihan pajak dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra. 

Melalui kewenangan ini, DJP dapat memberi dan meminta bantuan penagihan atas utang pajak kepada negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia berdasarkan perjanjian internasional, seperti P3B, konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan atau perjanjian bilateral atau multilateral lainnya, yang diselenggarakan secara resiprokal. Bantuan diberikan apabila klaim pajak dari negara atau yurisdiksi mitra telah diterima.

Klaim pajak adalah instrumen legal dari negara atau yurisdiksi mitra yang paling sedikit memuat mengenai nilai klaim yang ingin ditagih dan identitas penanggung pajak atas klaim pajak. Nilai klaim pajak adalah nilai uang yang memuat antara lain nilai pokok pajak yang masih harus dibayar, sanksi administratif, dan biaya penagihan yang dikenakan oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra. Selain itu, klaim pajak tersebut tidak dalam sengketa (yang sudah inkrah) di negara atau yurisdiksi mitra.

Klaim pajak digunakan sebagai dasar penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan yang berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara atau yurisdiksi mitra.  Tindakan penagihan pajak yang dilakukan DJP dalam hal DJP melaksanakan bantuan penagihan dilakukan dengan 

  1. Menegur atau memperingatkan,
  2. Menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa,
  3. Melaksanakan penyitaan,
  4. Menjual barang yang telah disita,
  5. Mengusulkan pencegahan, dan
  6. Melaksanakan penyanderaan

Jika penagihan atas klaim pajak tersebut telah berhasil dilakukan, hasil penagihan akan ditampung terlebih dahulu dalam rekening pemerintah yang melakukan penagihan untuk kemudian dikirim ke negara atau yurisdiksi mitra yang mengirim klaim pajak. Disisi lain, atas klaim pajak dapat tertagih, biaya penagihan ditanggung oleh negara atau yurisdiksi mitra yang meminta bantuan penagihan. Namun apabila klaim pajak tidak dapat tertagih, biaya penagihan pajak ditanggung oleh negara yang memberi bantuan penagihan.


2. Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama

Penambahan Pasal 27C Undang-Undang KUP mengatur bahwa per 29 Oktober 2021, DJP memiliki kewenangan untuk melaksanakan prosedur persetujuan bersama atau mutual agreement procedure. Prosedur persetujuan bersama adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. 

Prosedur persetujuan bersama diajukan sesuai dengan ketentuan dan batas waktu sebagaimana diatur dalam P3B dan dapat diajukan oleh 4 (empat) pihak, yaitu:

  1. Wajib Pajak dalam negeri
  2. Direktur Jenderal Pajak (DJP)
  3. Pejabat yang berwenang dalam negara atau yurisdiksi mitra P3B
  4. WNI melalui DJP terkait perlakuan diskriminatif di negara atau yurisdiksi mitra P3B 

Permintaan prosedur persetujuan bersama selain terkait perlakuan diskriminatif dapat diajukan bersamaan dengan permohonan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25, permohonan banding sebagaimana diatur dalam Pasal 27 atau pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b. 

Prosedur persetujuan bersama dilakukan agar Wajib Pajak dapat mendapatkan keadilan dan mengeliminasi pemajakan berganda. Berkaitan dengan hal tersebut, interaksi yang muncul antara pelaksanaan prosedur persetujuan bersama dengan proses penyelesaian sengketa domestik seperti banding atau peninjauan kembali perlu diatur secara khusus.

Atas pelaksanaan prosedur persetujuan bersama yang diajukan oleh DJP yang belum menghasilkan persetujuan bersama sampai dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali (PK) diucapkan, berlaku ketentuan sebagai berikut

  1. Dalam hal putusan banding atau PK telah diucapkan terlebih dahulu sebelum dicapainya persetujuan bersama tetapi sengketa yang diajukan prosedur persetujuan bersama tidak diputus dalam putusan banding atau PK, perundingan dalam rangka prosedur persetujuan bersama dilanjutkan.
  2. Dalam hal putusan banding atau PK juga memutus sengketa yang diajukan prosedur persetujuan bersama maka perundingan tetap dapat dilanjutkan dengan mendasarkan posisi runding DJP pada putusan banding atau PK. Apabila persetujuan bersama tidak dapat dicapai setelahnya, DJP dapat mengusulkan penghentian perundingan dengan memperhatikan ketentuan dan kaidah dalam negosiasi dan perundingan internasional, khususnya terkait pelaksanaan prosedur persetujuan bersama.

Hasil persetujuan bersama ditindaklanjuti dengan penerbitan surat keputusan tentang persetujuan bersama oleh DJP. Atas surat keputusan persetujuan bersama tersebut dapat digunakan sebagai dasar pengembalian pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1a) atau dasar penagihan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 18.



Referensi:
[1] Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
[2] PMK Nomor 19 Tahun 2018
[3] PMK Nomor 60 Tahun 2014
[4] Automatic Exchange Portal. OECD.


aeoi , bantuan-penagihan-pajak , penagihan-pajak , undangundang-hpp

Tulis Komentar



Whatsapp