Baca Juga: Pemerintah Terapkan “Govtech” Dukung Integrasi Layanan Digital AntarinstansiPada ketentuan sebelumnya yaitu dalam UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah (PDRD), hotel adalah fasilitas jasa penginapan yang mencakup motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, rumah penginapan, hingga kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 pintu. Oleh karena itu, Wajib Pajak yang memiliki rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 akan dikenakan pajak dengan tarif paling tinggi 10%. Namun dengan berlakunya UU HKPD rumah kos bukan lagi menjadi objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Ke depan, PBJT atas jasa perhotelan dikenakan atas jasa akomodasi dan fasilitas penunjang yang disediakan oleh hotel, hostel, vila, pondok wisata, motel, losmen, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan, tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel, dan glamping.
Baca Juga: Siap Edukasi Wajib Pajak, 612 Relawan DikukuhkanKetua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan, perubahan kos-kosan bukan menjadi objek pajak daerah sesuai dengan UU HKPD akan memberikan sentimen negatif terhadap penerimaan pajak daerah serta membuat penurunan penerimaan pajak daerah.Karena sebelumnya, daerah mendapat pemasukan sebesar 10 persen dari nilai sewa. Kategori tarif ini sangat besar, karena jumlahnya dikenakan atas omzet atau nilai sewa, bukan atas keuntungan," ujar Ajib dikutip dari Kontan.co.id pada (28/12/23) Ajib menyarankan supaya pemerintah daerah perlu mengoptimalkan penerimaan dari sektor lainnya untuk menutup kehilangan penerimaan dari sewa kos-kosan tersebut. "Misalnya dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak restoran dan kafe,” ujarnya.
hkpd , uu-hkpd-12022-