SURABAYA - Pemerintah Indonesia kembali menunda implementasi pajak karbon untuk kedua kalinya. Pajak karbon telah menjadi amanat dalam UU HPP yang seharusnya mulai diberlakukan pada 1 April 2022. Namun saat itu ditunda karena regulasi dan aturan teknis masih dalam penyusunan.
Pajak karbon kembali direncanakan akan berlaku pada 1 Juli 2022 . Sayangnya, implementasi pajak tersebut kembali ditunda.
Implementasi pajak karbon bukan hanya mengacu pada UU HPP. Instrumen pajak ini juga tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Dilansir dari Kompas.com, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan alasan penundaan pajak karbon untuk kedua kalinya. Hal ini karena perekonomian dalam negeri masih dibayangi ketidakpastian global yang membuat harga energi masih tinggi. Penerapan pajak karbon akan melihat waktu yang tepat, baik dari domestik maupun global.
“Peraturan dan regulasinya tetap kita susun, karena itu penting bahwa climate change merupakan concern yang penting bagi dunia dan terutama bagi kita sendiri,” kata Sri Mulyani pasca rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR RI di Jakarta (27/06).
Penerapan pajak karbon sendiri tidak semata bertujuan menambah penerimaan APBN, tetapi juga berfungsi sebagai langkah perlindungan iklim untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sesuai dengan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle).
Implementasi pajak karbon akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan roadmap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target NDC (Nationally Determined Contributions), kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 42% jika mendapat bantuan internasional.
nationally-determined-contribution-2030 , pajak-karbon , undangundang-hpp