News / 18 Mar 2022 /Wienneta Aulia Hajar

BEPS 2.0 dan Aspek Pajak Internasional

BEPS 2.0 dan Aspek Pajak Internasional

SURABAYA – BEPS (Base Erotion and Profit Shifting) adalah istilah yang digunakan oleh negara-negara anggota G-8, G-20 dan OECD untuk menjelaskan praktek usaha yang dilakukan oleh banyak perusahaan multinasional (MNEs) untuk memindahkan keuntungan usahanya melalui skema transfer pricing ke negara yang menerapkan tarif pajak rendah/nol (Wells dan Lowel, 2013, hal 3).

OECD/G20 Inclusive Framework on Based Erotion and Profit Shifting (IF) telah menyetujui solusi dua Pilar untuk mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi ekonomi BEPS.

Pilar I mengenai unified approach sedangkan Pilar II mengenai Global anti-Base Erosion Rules (GLoBE). Perkembangan Pilar I dijelaskan oleh Suska, Seorang Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam webinar “Pajak Internasional: BEPS 2.0 dan Aspek Pajak Internasional dalam UU HPP” yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis ke-7 Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) (18/03/22). 

Implementasi BEPS dapat merugikan dan menjadi ancaman bagi negara-negara lain. Kerugian akibat BEPS berkisar 100-240 Miliar USD atau setara dengan 4-10% dari pendapatan pajak penghasilan badan secara global.

Menyadari hal tersebut, dalam kerangka inklusif framework OECD dan G20 ada 141 negara yurisdiksi menerapakan 15 action yang bertujuan untuk mengatasi penghindaran pajak, meningkatkan kerjasama dalam mengatur pajak internasional, memastikan sistem perpajakan yang lebih transparan, dan untuk mengatasi tantangan pajak yang timbul akibat digitalisasi ekonomi.

Pilar I berfokus pada bagaimana seharusnya hak pemajakan atas penghasilan dari aktivitas bisnis di era digital dialokasikan ke tiap yurisdiksi. Pilar ini memperkenalkan pendekatan baru untuk mengalokasikan hak pemajakan, yaitu dengan mempertimbangkan jumlah partisipasi pengguna (user participation), harta tidak berwujud terkait fungsi pemasaran (marketing intangible), dan eksistensi kegiatan ekonomi yang signifikan (significant economic presence).

Konsep Pilar I sangat bagus, karena memberikan hak pemajakan kepada negara pasar, meskipun tidak terdapat kehadiran fisik (physical present) di negara pasar. Pilar I ini menyasar seluruh perusahaan multinasional (MNEs) dengan omset global di atas 20 Miliar Euro (sekitar 23,5 Miliar USD) dan profitabilitas (laba sebelum pajak/ pendapatan) di atas 10%.

Threshold peredaran bruto global tersebut dapat dikurangi menjadi 10 Miliar Euro (sekitar 11,8 Miliar USD) setelah 7 tahun perjanjian berlaku dan dengan peninjauan yang berlangsung tidak lebih dari 1 tahun. 

Sedangkan Pilar II menjelaskan tentang pajak minimum global, khususnya melalui skema Income Inclusion Rule (IIR) akan menjamin perusahaan multinasional yang memenuhi kriteria tertentu  (memenuhi threshold yang ditentukan), dimanapun berada akan membayar tarif pajak efektif PPh Badan sebesar 15%.

Dengan skema IIR, beban pajak tambahan (top-up tax) dikenakan pada entitas induk sehubungan dengan pendapatan bagian dari grup yang terkena pajak rendah.

Pajak minimum global merupakan sarana untuk melindungi basis pajak Indonesia, karena dengan tarif pajak minimum tekanan untuk terlibat dalam kompetisi pajak dengan alasan daya saing akan berkurang. 



Tulis Komentar



MUC Consulting
Kantor Surabaya
  • Gedung Graha Pena Lt 15
  • Jalan Ahmad Yani 88 Surabaya
  • Email : sby@mucglobal.com
  • Telepon : +6231-8284256 / +6231-8202180

Pengakuan Global
Global Recognition | Word Tax Global Recognition | Word TP
Media Sosial
© 2023 All Rights Reserved


Whatsapp